Teluk
Kaubakar gema di jantung waktu
Bibir pantai yang letih nyanyi
Sembuh oleh laut yang berloncatan
Memburu takdirmu yang menderu
Dan teluk ini
Yang tak berpenghuni kecuali gundah dan lampu
Memberangkatkan dahaga berlayar
Berkendara seribu pencalang
Ke arah airmata menjelma harimau
Pohon-pohon nyiur pun yakin
Janjimu akan tersemai
Dan di barat piramid jiwa
Berkat lambaian akan tegak mahligai senja
Senyum pun kekal dalamnya
Kaubakar gema di jantung waktu
Bibir pantai yang letih nyanyi
Sembuh oleh laut yang berloncatan
Memburu takdirmu yang menderu
Dan teluk ini
Yang tak berpenghuni kecuali gundah dan lampu
Memberangkatkan dahaga berlayar
Berkendara seribu pencalang
Ke arah airmata menjelma harimau
Pohon-pohon nyiur pun yakin
Janjimu akan tersemai
Dan di barat piramid jiwa
Berkat lambaian akan tegak mahligai senja
Senyum pun kekal dalamnya
Hanya
Seutas Pamor Badik
Dalam tubuhku kau nyalakan dahaga hijau
Darah terbakar nyaris ke nyawa
Kucari hutan
Sambil berdayung di hati malam
Bintang-bintang mengantuk
Menunggu giliran matahari
Ketika kau tegak merintis pagi
Selaku musafir kucoba mengerti:
Ternyata aku bukan pengembara
Kata-kata dan peristiwa
Telah lebur pada makna
Dalam aroma rimba dan waktu
Hanya seutas pamor badik, tapi
Tak kunjung selesai dilayari
Dalam tubuhku kau nyalakan dahaga hijau
Darah terbakar nyaris ke nyawa
Kucari hutan
Sambil berdayung di hati malam
Bintang-bintang mengantuk
Menunggu giliran matahari
Ketika kau tegak merintis pagi
Selaku musafir kucoba mengerti:
Ternyata aku bukan pengembara
Kata-kata dan peristiwa
Telah lebur pada makna
Dalam aroma rimba dan waktu
Hanya seutas pamor badik, tapi
Tak kunjung selesai dilayari
Sebuah
Istana
Tepi jalan antara sorga dan neraka
Kumasuki sebuah istana
Tempat sejarah diperam
Menjadi darah dan gelombang
Lewat jendela sebelah kiri
Kulihat matahari menjulurkan lidah
Seperti anjing lapar
Aku makin tak’ ngerti
Mengapa orang-orang memukul-mukul perutnya
Jauh di batas gaib dan nyata
Kabut harimau menyembah cahaya
Kutarik napas dalam-dalam
Dan kupejamkan mata
Alangkah kecil dunia!
Tepi jalan antara sorga dan neraka
Kumasuki sebuah istana
Tempat sejarah diperam
Menjadi darah dan gelombang
Lewat jendela sebelah kiri
Kulihat matahari menjulurkan lidah
Seperti anjing lapar
Aku makin tak’ ngerti
Mengapa orang-orang memukul-mukul perutnya
Jauh di batas gaib dan nyata
Kabut harimau menyembah cahaya
Kutarik napas dalam-dalam
Dan kupejamkan mata
Alangkah kecil dunia!
Zikir
Alif, alif, alif,!
Alifmu pedang di tanganku
Susuk di dagingku, kompas di hatiku
Alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut
Hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan
Terang
Hingga aku
Berkesiur
Pada
Angin kecil
Takdir-Mu
Hompimpah hidupku, hompimpah matiku
Hompimpah nasibku, hompimpah, hompimpah
Hompimpah!
Kugali hatiku dengan linggis alifmu
Hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi sungai,
Jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang
Mengerang menyebut alifmu
Alif, alif, alif!
Alifmu yg Satu
Tegak dimana-mana
Sajak Gamang
Dibiarkannya
orang-orang merangkak
selarat
kerbau menarik bajak
dibiarkannya
cacing yang tak punya kuasa
kalau
anak-anak menyanyi tentang daun-daun hijau
bagus,
karena bapaknya parau bagai harimau
musik
dan gamelan kadang bikin gamang
sungai
dan hutan jangan diurus kancil atau siamang
IBU
Karya: D.
Zawawi Imron
kalau
aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur
kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya
mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir
bila
aku merantau
sedap
kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di
hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran
hutangku padamu tak kuasa kubayar
ibu
adalah gua pertapaanku
dan
ibulah yang meletakkan aku di sini
saat
bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu
menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku
mengangguk meskipun kurang mengerti
bila
kasihmu ibarat samudera
sempit
lautan teduh
tempatku
mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku
berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan,
mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau
aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu,
ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran
aku tahu
engkau
ibu dan aku anakmu
bila
aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan
yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah
itu bidadari yang berselendang bianglala
sesekali
datang padaku
menyuruhku
menulis langit biru
dengan
sajakku.
Mantap
BalasHapus